Selasa, 08 Maret 2016

Hujan Pertama


   
Malam itu jalan disekitar kota sepi, orang-orang lebih memilih meringkuk di rumah masing-masing dengan secangkir kopi. Hanya sisa-sisa hujan yang menemaniku. Sendiri, memetik gitar tuaku. Ini hujan pertama setelah lima bulan hujan telat datang. Bukankah seharusnya mereka justru bersemangat menyambutnya? Entahlah, mungkin hanya aku yang menyukai hujan. Aku benar-benar sendiri di trotoar sini, merenungkan begitu suramnya kehidupan masa mudaku, usiaku 27 tahun, aku-
“maaf,” suara seorang perempuan menyadarkan  lamunanku. Perempuan itu datang sendiri, dan dia takut-takut melihatku. Aku menatapnya dengan mengernyit.
“apakah, apakah kau tau dimana letak kost terdekat?” Tanya perempuan itu takut. Perempuan yang   ku lihat-lihat menarik juga. Aku menggeleng singkat. Peremuan tadi menghembuskan napas sebal. Dia  duduk di sebelahku, melupakan wajah takutnya yang tadi. Namun tatapan curiganya tak hilang dari mata bulatnya.
“kau bukan penjahat, kan?” tanyanya sambil memasang kuda-kuda, waspada. Rambut perempuan itu setengah basah, mungkin ia terjebak hujan tadi. Aku menggeleng.
Sekarang jam 22.00 WIB, dan dia seorang perempuan? Pemberani sekali perempuan ini? Aku berdiri hendak pergi, tapi dia mencegah, menatapku, matanya seolah bertanya, ‘kau mau kemana?’
“sudah larut, aku mau pulang. Jika kau mau, kau bisa ikut denganku. Hujan akan turun sebentarlagi. Itu firasatku,” aku bicara sambil terus berjalan, aku mendengar langkah kakinya mengikutiku, ah! Aku tak tau harus ku taruh mana perempuan ini. Di rumahku hanya ada sepetak kamar itupun kecil. Kami berjalan sekitar satu kilometer, sesekali aku berhenti untuk menungguinya yang tertinggal jauh, sebentar berjalan, berhenti lagi, kali ini ia menenteng sepatu hak tingginya. Dasar perempuan! Umpatku dalam hati.
“ini rumahmu?” Tanya perempuan itu sambil menatapnya, kasihan? Aku hanya menanggapi sambil lalu, masuk kedalam, meletakkan gitar tuaku, kemudian masuk kedalam kamar.
“tuggu! Siapa namamu?” Tanya perempuan itu sedikit berteriak.
“Langit” jawabku singkat, kemudian menutup pintu kamarku.
“Langit? Langit, namaku Hujan” peempuan itu membuatku berhenti berjalan. Siapa tadi namanya? Hujan? Ah, sudahlah, toh aku sudah memutuskan untuk tidak mencintai perempuan manapun. Semua perempuan itu sama, sama-sama licik, dan suka berbohong. Perempuan itu sama saja, sama seperti orang yang sudah membunuh ayahku, dia perempuan yang sudah berani melahirkanku. Ya, dia ibuku. Ibu yang tidak seperti ibu orang lain. Dan aku tidak akan peduli lagi dengan makhluk bernama ‘perempuan’, tak terkecuali perempuan bernama Hujan ini. Hujan yang selalu kucintai selama ini.
Aku memutuskan untuk tidur beberapa menit kemudian, tidak peduli dengan Hujan di luar sana. Namun ketika aku bangun, tak seorangpun ku dapati di luar kamarku, padahal ini baru pukul 03.oo WIB.
***   
    Saat itulah aku tau, betapa berharganya seorang ‘Hujan’ bagiku. Pagi itu hujan yang ternya memberi secarik kertas untukku bilang, dia mengambil satu fotoku yang kugantungkan di ruang tamu. Aku baru tau bahwa saat itu Hujan sedang hamil empat bulan, ia menjadi korban pelampiasan nafsu para lelaki bejat beberapa bulan lalu.
    Pagi itu entah kenapa aku ingin sekali menemui Hujan, Hujan yang ku rasa butuh bantuanku. Aku mencarinya kemana-mana, di pertigaan itu, di pusat kota, dimanapun, tetap saja tak ada. Mulai hari itu aku sadar, tidak semua wanita sama. Saat itu aku tau, Hujan sangat berharga bagiku.
    Di hujan pertama, saat petir pertama kali menyambar, aku jatuh cinta untuk yang pertama kalinya, pada perempuan yang tak ku ketahui asal-usulnya. Jatuh cinta pada nama yang sudah kusukai sejak dulu. Sebelum aku bertemu dengannya.
    Sejak itu, hujan jarang turun lagi. Setahun hanya dua kali, atau bahkan tidak turun sama sekali. Malam ini aku masih duduk di pertigaan yang sama, usiaku 32 tahun, dan aku masih berharap Hujan datang menemuiku. Malam ini lima tahun setelah kejadian waktu itu. Selama itu pula aku menunggu seorang Hujan yang cantik itu. Hujan yang membuatku mencintai perempuan.
    “om?” sebuah suara mengagetkanku, seorang gadis mungil yang cantik, usianya sekitar lima tahun. Matanya bulat indah, mengingatkanku pada seseorang.
    “om, Hujan tersesat.” Adu bocah cilik itu padaku, wajahnya terlihat ketakutan. Aku duduk lebih tegak lagi.
    “siapa tadi namamu?” tanyaku memastikan.
    “namaku Hujan, kenapa, om? Jelek ya? Tapi tak apa, aku suka dengan namaku, karena namaku ini sama dengan nama ibuku.” Jelas bocah mungil ini padaku. Aku terkejut, sangat terkejut. Bagaimana tidak? Nama bocah ini sama dengan nama Hujan yang ku cari selama ini.
    “Hujan! Hujan! Di mana kamu, sayang” teriak sebuah suara yang tak asing lagi bagiku.
“mamaaa! Hujan disini!” teriak bocah kecil ini pada mamanya. Yang dipanggil langsung menghampiri anaknya.
“syukurla, kau sudah membuat mama khawatir. Mama kan sudah bilang, jangan kemana-mana. Nanti kalau orang jahat ini- Langit?” Hujan baru menyadari keberadaanku, oh, bukan keberadaanku, tapi menyadari bahwa orang yang sedang berama ‘Hujan kecilnya’ adalah aku, Langit.
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba hujan turun, turun untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan tak pernah turun. Aku mengajak kedua ‘Hujan’ ini meneduh di surau terdekat dari pertigaan.
“kau sama sekali tak punya sopan santun.” Ucapku yang entah mengapa terdengar sangat ketus.
“ma-maafkan aku, Langit” katanya
“kemana saja kau selama ini? Aku mencarimu hampir setiap hari.
“aku pulang kerumah ibuku di Surabaya...”
“ini om Langit yang katanya jahat itu ya, ma?” tanya Hujan tiba-tiba. “kok, mama mau sih temenan sama orang jahat?” kata Hujan lagi.
“Hujan ka...”
“mama mu bilang kalau Om Langit jahat?” aku duduk bertanya pada Hujan, dia mengangguk pasti.
“jangan dengarkan celotehan Hujan, Langit. Dia hanya anak kecil.” Hujan membela diri.
“bocah kecil ini lebih bisa ku percaya, Hujan.” Aku mengerling ke arah Hujan, kegiatan yang tak pernah kulakukan itu tiba-tiba ku lakukan untuk Hujan.
“lalu dimana ayah Hujan kecil ini?” tanyaku hati-hati, perempuan itu menunduk, lalu mengelus rambut lurus putrinya.
“aku tidak pernah menikah” jawabnya lirih. Aku tersenyum miring, senang sekali mendengar jawaban itu.
“berarti, tidak sia-sia penantian lima tahunku?” aku menatap tajam mata Hujan.
Dia mengernyit tak mengerti. Aku tak cepat memberi tau pa maksud ucapanku.
“Hujan, maukah kau menikah denganku?” tanyaku, dan dia menganga tak percaya.
“percaya atau tidak, aku sudah menyukaimu sejak dulu. Sejak hari itu sampai sekarang. Hujan, maukah kau menikah denganku?” aku bertanya sambil tersenyum, samar-samar ku melihat Hujan mengusap matanya, dia menangis dan mengangguk. Aku mencium kening bocah kecil yang hanya diam menyaksikan dua orang dewasa ini di depannya.
Entahlah, dunia ini begitu sulit ku mengerti. Sejak menikah dengan Hujan, di kotaku tak pernah kekeringan. Hujan rutin turun. Mungkin hanya kebetulan, atau mungkin memang takdir? Bahwa Langit adalah milik Hujan? Atau sebaliknya?
Hujan sedang menata rambut putri kecil kami, bocah berusia tiga tahun. Namanya Rain. Aku tersenyum menanggapi senyuman Hujan, istri tercintaku.
“papa, Hujan kesulitan menghitung ini” Hujan menghampiri ku yang sedang duduk santai memperhatikan Hujan. Dunia ini sangatlah indah, aku bahkan punya tiga hujan disini, di dunia yang sulit dimengerti kebanyakan orang. Dan aku sangat bahagia. Karna aku mencintainya. Hujan. Hujan. Dan Rain.